Du omnibus dubitandum, kata Rene Descartes. Ragukan segala sesuatu, ragukan semuanya, ragukan .. jika kamu ragu. Apa maksudnya? Banyak hal dalam kehidupan kita, selalu dilingkupi oleh keragu-raguan, entah itu menyangkut pekerjaan (pekerjaan apa saja), terkait dengan hubungan (hubungan apa saja, percintaan, pertemanan, keluarga, dan banyak hubungan yang lain), yang memunculkan banyak permasalahan karena kita ragu. Kalau kita yakin akan kebenarannya, selesailah persoalannya. Descartes memulai berfilsafat dengan meragukan semua pengetahuan, Ia menemukan kepastian (kebenaran) hanya dalam pernyataan yang menurutnya kebenaran itu dimulai dengan meragukannya, mencari buktinya, dan kemudian menyimpulkannya. Bahwa itu benar, karena pernyataannya tidak diragukan. Lalu bagaimana kalau kita masih ragu, ‘jangan dikerjakan’, ‘jangan dilanjutkan’, ‘pertimbangkan kembali’. Pikirkan ulang, kaji kembali, cari informasinya, cari buktinya, analisa, ambil keputusan berdasar bukti yang dikumpulkan.
Satu pertanyaan, dimana kita tidak pernah ragu, yaitu: keyakinan akan adanya ’surga’ atau ‘neraka’, walaupun kita belum pernah kesana. Kita sangat yakin bahwa surga dan neraka itu ada, tidak perlu ada pembuktian, kita percaya bahwa memang itu benar adanya (tidak untuk diperdebatkan).
Lain lagi halnya, kita juga yakin bahwa 3 + 4 = 7, kita percaya bahwa penjumlahan itu benar, itu yang diajarkan oleh guru kita, lho terus guru kita tahu dari mana, kalau 3 + 4 = 7, ya tentunya dari gurunya, demikian seterusnya. Lalu ada cerita, seorang anak kecil yang baru masuk sekolah dasar dan diajari berhitung (walaupun sebelumnya sudah diajari oleh orang tuanya di rumah, meskipun belum cukup umur), cerita demikian:
Kita sebut saja anak itu namanya ‘Amin’, Ia berangkat kesekolah untuk pertama kalinya diantar oleh ibunya, ketika ia masuk kelas, Ia terpesona akan kecantikan ibu gurunya (satu modal untuk senang & bergembira dalam belajar). Bu guru cantik mulai mengajarkan berhitung, anak-anak, katanya, ‘3 + 4 = 7′. Setelah selesai pelajaran dan pulang si ‘Amin’ sungguh sangat senang dan bergembira, karena telah mendapatkan pengetahuan baru, bahwa 3 + 4 = 7. Amin ingin cepat-cepat pulang dan menceriterakan semuanya pada ibunya apa yang telah dipelajarinya tadi disekolah.
Ma, Ma, katanya: “tadi diajari bu guru, kalau 4 ditambah 3 sama dengan 7. Besok paginya, Amin dengan sukacita berangkat ke sekolah, ingin belajar berhitung dengan bu guru cantiknya. Ketika pelajaran berhitung dimulai, ibu guru menjelaskan bahwa, 2 + 5 = 7. Ketika mengetahui bahwa 2 + 5 = 7, Amin mulai mengercitkan dahinya, Ia mulai gelisah, sedikit bingung, dan mulai ragu. Kemarin kata bu guru, 3 + 4 = 7, sekarang bu guru bilang, kalau 2 + 5 = 7. Sampai di rumah, Amin tidak segembira ketika pulang sekolah sebelumnya. Keesokan harinya ketika ia berangkat juga tidak segembira hari sebelumnya. Waktu pelajaran berhitung dimulai, Ia sudah tidak sesemangat seperti hari sebelumnya ketika menerima pelajaran berhitung untuk pertama kalinya. Ibu guru cantiknya mulai kehilangan daya tariknya, lebih-lebih ketika ibu gurunya menjelaskan bahwa 1 + 6 = 7, Ia mulai bimbang, bingung, dan heran dengan apa yang disampaikan gurunya. Keraguan terhadap apa yang dijelaskan ibu guru cantiknya terus bermunculan, pikirannya kacau, gurunya dianggap berbohong. Sebelum pelajaran selesai, Amin berlari pulang dan menangis mengadukan apa yang dikatakan gurunya tadi dikelas.
Ma, “gimana ini, Ma”, bu guru bilang, kalau ‘3 + 4 = 7′, kemarin bu guru bilang: ‘2 + 5 = 7′, sekarang bu guru bilang, ‘1 + 6 = 7′, mana Ma, yang benar?. Mamanya dengan sabar, mengatakan: ’semuanya benar’, hanya bagaimana Ia menjelaskan kepada Amin, bahwa semuanya itu benar. Berdasarkan pengalaman sang ibu, Ia waktu kecil juga diajarkan seperti itu. Hal itu juga pernah ditanyakan pada ibunya waktu itu, bahwa ibunya (neneknya Amin) juga mendapatkan pelajaran seperti itu dari gurunya.
Du omnibus dubitandum (ragukan segala sesuatu).
Surabaya, 11 April 2011 (baswartonobaswoko@yahoo.com)